japan.com

Monday, December 14, 2015

NIKMAT TUHANMU YANG MANA YANG KAMU DUSTAKAN

Satu hal yang istimewa dalam surat ini adalah adanya pengulangan ayat yang artinya "Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?"
Ar-Rahman merupakan surat ke-55 dalam kitab suci Alquran. Surat yang turun di Kota Mekah ini terdiri dari 78 ayat dan berisi tentang kemurahan Allah SWT serta nikmat-nikmat yang telah diberikan kepada jin dan manusia.

Satu hal yang istimewa dalam surat ini adalah adanya pengulangan ayat yang artinya “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”. Setiap kali Allah memaparkan kenikmatan yang diberikan kepada hamba-hamban-Nya, Allah selalu bertanya dengan kalimat tersebut.



Jumlahnya pun cukup banyak yakni mencapai 31 kali pengulangan. Ada apa gerangan dengan makna kalimat ini? Adakah rahasia besar pada kalimat tersebut sehingga Allah SWT mengulanginya hingga 31 kali?

Kalimat ini bisa ditemukan pada ayat ke-13, 16, 18, 21, 23, 25, 28, 30, 32, 34, 36, 38, 40, 42, 45, 47, 49, 51, 53, 55, 57, 59, 61, 63, 65, 67, 69, 71, 73, 75, dan 77. Jika surat ini dikaji dari segi numerologinya, maka akan ditemukan keindahan rahasia yang ingin Allah sampaikan kepada kita terkait rasa syukur yang seharusnya dimiliki setiap jiwa.

Angka 31 jika dikaitkan dengan surah ke-31 dalam Alquran maka akan ditemukan Surat Luqman. Anda akan semakin takjub dengan isi dari ayat ke-31 dalam surat tersebut yang artinya sebagai berikut:

 “Tidaklah engkau memperhatikan bahwa sesungguhnya kapal itu berlayar di laut dengan nikmat Allah agar diperlihatkan-Nya kepadamu sebagian dari tanda-tanda (kebesaran)-Nya. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran)-Nya bagi setiap orang yang sangat sabar dan banyak bersyukur.”

Dua surat ini tentu memiliki keterkaitan jika di kaitkan dengan kesyukuran.  Allah SWT ingin menujukan kepada kita bahwa kapal yang berlayar dilautan merupakan tanda kebesaran Allah berupa nikmat.  Allah SWT ingin menegaskan bahwa manusia yang tidak memiliki perangkat untuk bisa berjalan di air ternyata mampu melakukannya dengan perantara alat yaitu sebuah kapal yang mengapung di atas air. Jika dikaitkan ke Surat Ar Rahman, jadi, nikmat Tuhan mana yang akan kita dustakan?

Dalam kalimat istimewa ini Allah SWT juga menggunakan kata dusta bukan ingkar. Dusta memiliki makna menyembunyikan kebenaran, sangat dekat dengan kesombongan yang acap kali menolak kebenaran dan menyepelekan hal lain kecuali dirinya.  

Perhatikan saja, apa yang manusia perbuat dengan uang yang mereka dapatkan? kebanyakan menganggap bahwa apa yang Ia dapatkan merupakan kekuatannya sendiri hasil kerja kerasnya sendiri, padahal selalu ada campur tangan Allah dalam setiap pencapaian yang didapatkan.  Kalau kita berhasil meraih gelar sarjana itu karena otak kita yang cerdas? Kalau kita sehat, jarang sakit, itu karna kita pandai menjaga makan dan rajin berolahraga, dan sebagainya.

Setiap yang kita dapatkan seolah-olah merupakan kerja keras sendiri dan tanpa campur tangan Allah. Kita sepelekan kehadiran Allah pada semua keberhasilan kita dan kita dustakan bahwa sesungguhnya nikmat itu semuanya datang dari Allah. Maka nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan? Allah SWT berfirman yang artinya:

“Dan jika kamu menghitung nikmat-nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan sanggup menghitungnya”. (QS. An-Nahl 16 : 18)

Semoga kita senantiasa menjadi hamba-Nya yang bersyukur atas nikmat yang telah allah SWT berikan kepada kita.

Thursday, November 5, 2015

Nikmat tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan

Fabi ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadzdzibaan...

 Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Ketika mata ini tak terelakan..

Di saat lisan ini telah tersinggungkan..

Ketika hati ini penuh kesombongan..

Di saat raga ini penuh keangkuhan..

 

Fabi ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadzdzibaan...

 

Berkaca diri..

Dengan RahmanNya..

Diri telah diciptakan bicara..

Bercermin diri..

Dengan RahmanNya..

Diri telah diajarkan FirmanNya..

 

Fabi ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadzdzibaan...

 

Dengan mata..

Pandanglah matahari menyinari saat siang ..

Lihatlah bulan menerangi kala malam..

Keduanya beredar menurut perhitungan..

Tengoklah tumbuh-tumbuhan yang menjulang tinggi..

Tataplah pepohonan yang bergoyang ditiup angin..

Semuanya bertasbih kepadaNya..

Segalanya tunduk dan patuh kepadaNya..

 

Fabi ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadzdzibaan...

 

Dengan hati..

 

Tak diragukan..

Dia-lah yang meninggikan langit beserta isinya..

Tak dipungkiri..

Dia-lah yang meratakan bumi untuk makhlukNya..

Tak diingkari..

Dia-lah yang telah menciptakan diri dari tanah kering..

Tak didustakan..

Dia-lah yang menciptakan jin dari nyala api..

 

Fa bi ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadzdzibaan..

 

Dengan mata hati..

 

Tanpa kuasaNya..

Sekalian diri tak kan mampu menembus langit dan bumi..

Tanpa kebesaran dan kemuliaanNya..

Sekalian diri tak kan bisa menatap WajahNya Yang Kekal..

 

Fa bi ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadzdzibaan..

 

Ketundukan dan kepasrahanku..

Ketaatan dan kepatuhanku..

Kefanaan dan kebinasaanku..

Mengabadikan keAgunganMu..

Mengekalkan keMuliaanMu..

Maha Agung asma Tuhanku dalam kebesaran dan kemuliaan..

Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Cerita seorang suami yg mendapat email dari istrinya

fabi ayyi alaa i rabbikumaa tukadzdzibaan…"


Suatu hari Jumat, istriku mengirim sebuah email, pengantarnya,
“Pap, baca nih buku ini!” sambil mengattach sebuah e-book dalam bentuk PDF. Namun sayang sekali, setelah 4 kali dikirim, file itu tidak bisa dibuka.

Penasaran, aku dan istriku beberapa waktu kemudian ke toko buku Gramedia untuk mencari buku itu. Ternyata ada dan tanpa pikir panjang aku beli. Istriku berkomentar pendek saja,
“Langsung baca halaman 47!” ujar istriku.

Langsung aku baca halaman 47. Ternyata berisi tulisan sang penulis mengenai seorang suami yang rajin shalat, rajin puasa, rajin baca quran, ga pernah keluyuran, pulang kantor tepat waktu, jauh dari alcohol dan jauh dari “main perempuan”, namun ternyata sang istri suatu saat menemukan sms di hp sang suami yang ditujukan kepada seorang perempuan lain yang isinya, “Sayang, kamu lagi ngapain…?”
“Duh, kenapa istriku menyuruh aku membaca halaman ini?” batinku
Seolah menjawab keherananku, istriku segera menukas,
“Cerita itu Pipap banget!” ujarnya dengan senyum yang penuh misteri.
Notes : Pipap = panggilan istriku untukku, sama dengan Papa, Papi, Bapak atau Ayah.

Setelah sedikit perdebatan kecil, tentunya aku menyangkal kalau aku seperti yang ditulis itu, akhirnya istriku tetap pada suatu kesimpulan bahwa,
“Dimana-mana, laki-laki ga ada yang bisa dipercaya! Titik!” tegas, lugas, dan tanpa ragu istriku berkata.

Selanjutnya aku membaca tulisan-tulisan lain sang penulis itu. Sangat bagus, sangat inspiratif dan menggugah. Penulisnya –seorang muslimah taat- benar-benar bisa membawa pembacanya ikut terlarut dalam kisah-kisah perempuan yang disakiti baik secara fisik maupun secara psikis. Namun malam itu, aku tidak selesai membacanya, dan aku putuskan untuk membaca keesokan harinya saat berada di dalam pesawat menuju ke Pekanbaru.

Singkat kata, di dalam pesawat menuju Pekanbaru, aku bersiap meneruskan membaca. Halaman demi halaman ku baca, hingga sampailah pada satu tulisan, berisikan mengenai kehilangan seorang istri akan suaminya yang mendadak meninggal karena kecelakaan. Namun bukan tema tulisannya yang membuat aku bergetar. Terlepas dari simpati ku terhadap sang istri, aku melihat temanya memang banyak terjadi di keseharian.

Justru yang membuat aku tergetar adalah suatu kalimat yang diucapkan sang istri tatkala kehilangan suaminya, yaitu,
“fabi ayyi alaa I rabbikumaa tukadzdzibaan…” maka nikmat Allah manakah yang kamu ingkari?

Sedetik aku membaca kalimat itu, tercekat langsung hatiku. Merinding, tercenung dan kosong pikiranku. Tak sadar pula, seolah ada kabut menyelimuti mata, ada genangan memenuhinya. Kantung mataku tak mampu menahan genangan itu, dan terbentuklah aliran air mata di pipi.

Ya! Aku menangis. Terus menerus, hingga akhirnya pesawat mendarat dan penumpang turun. Aku membiarkannya mengalir, tak coba kuhapus atau setidaknya kubendung aliran bertambah. Kubiarkan hatiku sesak, kubiarkan tercekat. Kumanjakan pipiku dengan aliran air mata itu, tak berhenti.

Kalimat Al Qur’an surat Ar Rahman itu benar-benar membuatku terhenyak.
“fabi ayyi alaa I rabbikumaa tukadzdzibaan…”sering aku mendengar ayat itu, ketika kecil aku mengaji, ketika mendengar ceramah Maulid Nabi, ketika ceramah Jum’at, dan banyak lagi. Rasanya sering aku mendengar ayat itu. Namun kali ini…
“Apa yang terjadi dengan ku?”

Saat ini sepertinya semua mudah aku dapat. Nikmat Allah benar-benar melimpah ruah. Harta, karier, keluarga, semua aku miliki. Dengan level usiaku saat ini, nikmat itu begitu melimpah ruah. Namun, kapan terakhir aku shalat fardhu di mesjid, kapan terakhir aku bersujud di sepertiga malam, kapan terakhir aku melantunkan ayat-ayat Alquran, kapan terakhir aku mengikuti tauziyah seorang kyai di mesjid, kapan terakhir aku mengajak keluarga untuk shalat berjamaah, kapan…? Sudah lama sekali tidak aku lakukan. Sudah lama!

Berkedok dibalik pernyataan “bekerja juga adalah ibadah”, aku lalai menjalankannya. Ibadah vertikal itu hanya standar aku lakukan, cukup shalat –dan sering terlambat-, membayar zakat, infak, shadaqah! Sudah! Ke mesjid? Cukup setiap shalat Jumat! Benar-benar lalai!

Yang aku heran, ketika tangis itu jatuh, pikiran ku kosong, sama sekali tidak ada penyebab tangis, sama sekali tidak ada pikiran bahwa aku menangis karena aku menyesal tidak menjalankan ibadah vertikal itu dengan baik. Hanya menangis saja, tepat sesaat setelah membaca “fabi ayyi alaa i rabbikumaa tukadzdzibaan…” Kesadaran akan kelalaian justru baru datang ketika sudah ada di darat dan perjalanan mobil menuju kantor di Pekanbaru.

Ya betul! Aku lalai! Aku menjalankan shalat, tapi lalai!

Mungkin Allah memperingatkanku melalui cara “tangis” itu. Tangis yang tiba-tiba jatuh tanpa tahu sebabnya, tangis yang tiba-tiba mengalir sesaat setelah kalimat itu dibaca. Apakah setelah ini aku akan rajin shalat fardhu di mesjid, rajin bersujud di sepertiga malam, rajin melantunkan ayat-ayat Alqur’an, rajin mengikuti tauziyah, rajin mengajak keluarga shalat berjamaah? Semoga...

Aku harus memulainya sebelum terlambat. Motivasiku hanya satu, yaitu
“fabi ayyi alaa i rabbikumaa tukadzdzibaan…” maka nikmat Allah manakah yang kamu ingkari?”



Wednesday, November 4, 2015

tiga berangkai dalam qur'an


''3 Perintah alloh yang berangkai dalam dalam Al-Qur'an''

"3 Perintah alloh dalam Al-Qur'an, yang menurut para ulama tidak di terima yang satu apabila yang lain tidak di kerjakan.
diantaranya :
  
           (1)-aqimus sholah wa atuzzakah,
           (2)-ati'ulloha wa ati'urrasul,
           (3)-aniskurli waliwalidaika,

- aqimus sholah wa atuzzakah,
artinya :
(dirikan sholat dan  bayar zakat).
 yang ber arti
tidak di terima sholatnya orang yang tidak membayar zakat, dan tidak di terima zakatnya     orang yang tidak mendirikan sholat.
perintah ini berangkai pada saat sholat di kerjakan , zakat apabila haul dan nisabnya harus di bayar.

-ati'ulloha wa ati'urrasul,
 artinya :
(taatlah kamu kepada alloh , dan taatlah kamu kepada rosul).
 yang ber arti 
tidak di terima taat kepada alloh ,kalau membelakangi rosul. dan tidak di terima mentaati rosul  kalau tidak mentaati alloh.
ke duanya berangkai dan tidak terpisahkan satu dengan lainnya,  taat kepada alloh artinya harus taat juga kepada rosul,   Mengamalkan Qur'an artinya harus mengamalkan sunah.

-aniskurli waliwalidaika ,
artinya ; 
(hendaklah engkau bersyukur kepadaku ,dan bersyukur kepada kedua orangtuamu)
yang ber arti :
bersyukur kepada alloh tapi tidak bersyukur kepada kedua orang tua tidak di terima,
 bersyukur kepada ibu bapak, tapi tidak bersyukur kepada alloh juga tidak diterima.
Oleh krananya keduanya tidak bisa dipisahkan satusamalain, oang yang pandai bersyukur kepada alloh, iya juga harus bersyukur kepada ibu dan bapaknya,
Bersyukur kepada ibu dan bapak berArti berbakti kepada kedua orang tua kita.